Jatuhnya Harga Minyak : Kesempatan atau Kesempitan
Bagi Indonesia?
Harga minyak jatuh sejak pertengahan
2014, ketika OPEC memutuskan tidak menurunkan kuota produksi harian diatas 30
juta barel per hari. Dari US$ 112, harga minyak terjun bebas dan tertahan di
kisaran US$ 50 per barel sepanjang 2015. Padahal, dengan mengurangi produksi,
OPEC diharapkan bisa menahan laju penurunan harga akibat booming produksi shale
gas dan minyak nonkonvensional lainnya.
Di tengah menurunnya permintaan dunia sejak 2014,
pasokan justru meningkat. Penghapusan aturan larangan ekspor minyak oleh
Amerika Serikat dan kembalinya suplai Iran pasca pencabutan sanksi ekonomi
akibat kegiatan nuklirnya, membuat stok minyak mentah membanjiri pasar. Harga
minyak per September
ini sempat menyentuh US$ 44. Sejumlah negara penghasil
minyak pun memilih sikap realistis dalam menyusun anggaran. Arab Saudi dan
Nigeria, misalnya, mematok harga minyak masing-masing US$ 29 dan US$ 38 per
barel. Patokan tersebut jauh dibawah harga yang tercantum dalam APBN Indonesia
sebesar US$ 50 per barel. Berikut adalah
infografis yang diambil dari katadata.co.id :
Lalu dengan adanya penurunan harga
minyak ini banyak dampak yang dirasakan oleh Indonesia. Sebagai catatan bahwa
Indonesia sekarang telah menjadi negara pengimpor minyak mentah. Sehingga
banyak dampak positif yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia
disamping tentu saja terdapat dampak-dampak negatif akibat turunnya harga
minyak ini.
Dampak negatif dari turunnya harga minyak ini adalah
berhentinya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi beberapa lapangan minyak di
Indonesia. Vice President Corporate Communication HR and Finance Total E&P
Indonesie Arividya Noviyanto mengatakan, harga minyak yang rendah saat ini
sebenarnya diharapkan bisa menurunkan biaya jasa migas. Dengan begitu, dapat
mengurangi beban kontraktor. Ternyata penurunan harga minyak dunia tidak berpengaruh terhadap harga sewa rig.
Meski harga minyak dunia turun hampir 50 persen sejak 2014, harga sewa rig masih sangat mahal. Hal inilah
yang menyebabkan Total memutuskan mengurangi penggunaan rig di Blok
Mahakam. Akibat pengurangan pengoperasian rig tersebut, Novi mengatakan, Total
tidak mengebor sumur sebanyak tahun lalu yang bisa mencapai 107 sumur. Dari
jumlah itu, 70 sumur berada di Lapangan Tunu. Tahun ini, Total hanya akan
mengebor 37 sumur eksplorasi. Akibatnya produksi berkurang dan kebutuhan dalam
negeri kurang terpenuhi. Selain itu, banyak perusahaan-perusahaan yang
melakukan efisiensi dengan memberhenrikan pegawai-pegawainya. Hal ini
menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan berkurangnya lapangan kerja
bagi pekerja di bidang perminyakan.
Dampak positif dari turunnya harga
minyak ini adalah Indonesia mampu menghemat belanjanya. Saat harga minyak
tinggi tentu anggaran yang dibutuhkan untuk mengimpor minyak mentah jauh lebih
tinggi dibandingkan saat harga minyak turun. Sehingga momen ini bisa
dimanfaatkan Indonesia untuk mengalihkan anggaran belanja di sektor nasional
lain yang membutuhkan anggaan lebih. Selain itu pemerintah juga bisa mengurangi
subsidi BBM dan mengalokasikannya ke sektor lain. Akibatnya ekonomi pun tumbuh
lebih baik saat harga minyak turun.
Setelah mengetahui dampak positif
dan negatif dari turunnya harga minyak, maka sekarang kita harus mengetahui
segala sesuatu yang bisa dilakukan Indonesia untuk mengubah kesempitan menjadi
kesempatan yang baik bagi bangsa dan negara. Beberapa solusi tersebut telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia namun ada solusi-solusi yang mungkin bisa diterapkan oleh
Indonesia di masa yang akan datang.
Solusi pertama adalah pembuatan dan
pengembangan kilang minyak. Akhir-akhir ini pemerintah Indonesia gencar
melelang kontruksi kilang-kilang di Indonesia. Skema pembuatan kilang tersebut
bisa berupa kerjasama pemerintah dengan swasta (KPS) atau penugasan langsung ke
Pertamina. Kilang Tuban dan kilang Bontang adalah dua kiang yang rencananya
tahun ini akan dibangun. Presiden Joko Widodo telah menandatangani peraturan
mengenai percepatan pembangunan kilang pada Desember tahun lalu. Sebagai
turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) tersebut, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengeluarkan Peraturan Menteri terkait teknis
dan pelaksanaan pembangunan kilang. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi
(Migas) Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan pihaknya tengah
memfinalisasi Peraturan Menteri (Permen) terkait hal ini. Dalam Permen tersebut
juga akan diatur mengenai pembangunan kilang mini di Indonesia. Berdasarkan
roadmap, Indonesia akan membangun beberapa kilang baru untuk meningkatkan
ketahanan energi dalam 10 tahun ke depan. Selain membangun kilang baru
berkapasitas 300 ribu barel per hari, pemerintah juga berencana membangun
kilang mini. Kilang mini akan dibangun di beberapa titik yang lokasinya dekat
dengan sumber minyak dan jauh dari lokasi kilang besar. Dana pembangunan kilang
yang sangat besar bisa dialihkan untuk membangun tangki penyimpanan bahan bakar
minyak (BBM) yang lebih banyak. Ini dibutuhkan untuk mengatasi kelangkaan dan
menjaga manajemen pasokan BBM di daerah. Sehingga harga BBM bisa lebih stabil
dan merata di seluruh Indonesia.
Solusi kedua adalah ekspansi
Pertamina ke luar negeri. Saat ini Pertamina sedang gencar melirik aset-aset
migas di luar negeri. PT Pertamina (Persero) tengah mempersiapkan proses
akuisisi perusahaan minyak dan gas bumi (migas) yang memiliki aset di Afrika.
Selain itu PT Pertamina (Persero) telah menandatangani nota kesepahaman atau
Memorandum of Understanding (Mou) dengan perusahaan minyak nasional asal Iran,
National Iranian Oil Company (NIOC) di Teheran Agustus lalu. Nota kesepahaman ini
dalam rangka kerjasama pengelolaan blok minyak dan gas bumi di Iran oleh
Pertamina. PT Pertamina (Persero) dan National Iranian Oil Company (NIOC)
segera akan melakukan studi atau penelitian pendahuluan (preliminary study) dua
ladang minyak raksasa di Iran, yakni Ab-Teymor dan Mandiri (Bangestan-Asmari).
Solusi ketiga adalah nasionalisasi
aset migas. Hal ini sangat tepat biala dilakukan sekarang. Banyak
perusahaan-perusahaan minyak yang menghentikan kegiatannya di beberapa lapangan
karena biaya produksi yang tidak sebanding dengan biaya penjualan minyak. Pemerintah
Indonesia diharapkan mampu mengakuisisi
lapangan tersebut sembari transfer teknologi dari kontraktor sebelumnya
sehingga diharapkan saat harga minyak sudah tinggi kembali, Indonesia sudah
siap mengelola lapangan tersebut dan bisa mendapatkan keuntungan yang besar.
Solusi keempat adalah perbaikan regulasi. Isu tentang
regulasi akhir-akhir ini adalah tentang RUU Migas. Dalam membahas RUU Migas, kita
berharap pemerintah tetap berpegang teguh atas mineral right, hak kelola
untuk mengeksploitasi suatu wilayah. Pemerintah dituntut tetap di puncak dalam pengelolaan
migas negara.
Solusi kelima adalah pemberian insentif untuk
eksplorasi. Sebagai contoh adalah insentif yang rencananya akan diberikan
kepada Inpex dalam mengelola blok Masela. Pemerintah melalui Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tengah
membahas permintaan insentif pengembangan Blok Masela yang diajukan oleh Inpex
Corporation. Salah satunya terkait permintaan porsi bagi hasil yang lebih besar
daripada porsi untuk negara. Ini diajukan oleh Inpex agar proyek Blok Masela
yang menggunakan skema darat tetap menguntungkan. Namun, menurut sumber
Katadata, kemungkinan permintaan insentif itu sulit dikabulkan pemerintah
karena bakal menciutkan pendapatan negara. Apalagi, jika melihat semua insentif
yang diajukan tersebut maka skema darat sebenarnya menjadi tidak menguntungkan.
Solusi keenam adalah mengembangkan keilmuan lainnya.
Kita dituntut untuk terus mencari ilmu alternatif di samping ilmu Teknik
Perminyakan secara umum seperti kemampuan bahasa, presentasi dll. Ini
diperlukan agar ketika industri migas kembali bergairah, kita sudah
mempersiapkan segala sesuatunya. Selain itu tidak menutup kemungkinan kita juga
mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang jumlahnya cukup besar di
Indonesia sehingga pada masa yang akan datang kita tidak perlu ergantung lagi
pada bahan bakar fosil.
Solusi ketujuh adalah pembangunan Strategic Petroleum
Reserve (SPR). Pembangunan Strategic Petroleum Reserve (SPR) atau cadangan
strategis minyak dan gas bumi ini untuk menjamin ketersediaan pasokan energi di
Indonesia. SPR ini juga telah banyak diterapkan hampir di sebagian besar negara
dalam rangka mendukung ketahanan energi di luar negeri seperti Myanmar, Jepang,
Amerika dan Vietnam. Berikut adalah gambar SPR milik U.S oleh Reuters :
Semoga dengan adanya solusi-solusi di atas bisa
menjadikan Indonesia berdaulat energi.
Untuk Indonesia Mandiri Energi !!!
Salam Energi !!!
SUMBER
:
http://katadata.co.id/infografik/2016/01/05/2016-harga-minyak-makin-jatuh
http://www.voaindonesia.com/a/asia-diuntungkan-dengan-anjloknya-minyak/2536484.html
http://katadata.co.id/berita/2016/04/26/total-waspadai-penurunan-produksi-blok-mahakam
http://katadata.co.id/berita/2015/12/28/pemerintah-akan-bangun-enam-kilang-minyak-mini
http://katadata.co.id/berita/2016/01/22/tiga-bulan-lagi-kilang-tuban-siap-dibangun
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/08/08/153707226/pertamina.dan.nioc.mulai.studi.pendahuluan.ladang.minyak.di.iran
http://katadata.co.id/berita/2016/07/14/insentif-proyek-masela-inpex-minta-porsi-bagi-hasil-50-60-persen
http://esdm.go.id/berita/migas/40-migas/8229-menteri-esdm-spr-untuk-mendukung-ketahanan-energi.html
http://www.ibtimes.com/fighting-words/lets-shut-down-strategic-petroleum-reserve-1369917